MUHAMMAD Suranto mengisi hari senggangnya dengan memikat—sebutan untuk kegiatan berburu burung. Warga Seronggga, Kecamatan Kelumpang Hilir, Kotabaru, Kalimantan Selatan, itu memikat sesekali di sela pekerjaannya, yang ia enggan sebutkan. Biasanya, ia mendapatkan burung cucak jenggot, cucak ranting, dan kolibri. Tapi, pada Senin, 5 Oktober 2020, dia memperoleh burung yang tak biasa. "Waktu itu belum terpikir burung apa. Saya pertama kali melihat burung seperti itu," katanya, Selasa, 6 April lalu, mengingat peristiwa enam bulan silam tersebut.
Burung yang ia dapatkan itu belakangan diidentifikasi sebagai pelanduk kalimantan, spesies yang hilang dari peredaran sejak pertama kali ditemukan ahli geologi dan naturalis Jerman, Carl A.L.M. Schwaner, pada 1840-an. Spesimen burung itu baru dideskripsikan oleh ahli ornitologi Prancis, Charles Lucien Bonaparte, pada 1850. Peneliti Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Tri Haryoko, mengkonfirmasi bahwa temuan itu adalah burung yang terakhir kali terdengar kabarnya lebih dari 170 tahun lalu tersebut. "Sejak dideskripsikan, tidak ada yang melaporkannya lagi," ucapnya, Jumat, 9 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tri yakin yang ditemukan Suranto itu pelanduk kalimantan (Malacocincla perspicillata). Ukurannya 15-16 sentimeter, memiliki mahkota berwarna cokelat yang dibatasi garis mata hitam lebar melintasi malar (tulang pipi) ke tengkuk dan leher. Bagian tubuh atasnya berwarna cokelat. Dadanya berkelir keabu-abuan dengan goresan halus putih dan ekornya pendek. "Ciri-ciri ini dikuatkan setelah dibandingkan dengan spesimen yang tersimpan di Naturalis Biodiversity Center, Leiden, Belanda," ujarnya.
Penemuan ini di luar perkiraan. Suranto mendapatkan burung itu saat memikat di daerah perbukitan Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, sekitar 30 menit perjalanan dari rumahnya. Pada waktu itu, dia menemukan setidaknya ada dua burung yang belum pernah ia lihat. Dia menangkap salah satunya dengan cara menjaringnya. Suranto tidak tahu nama burung itu meski ada sejumlah kemiripan suara dan bentuk dengan pelanduk lain.
Burung Pelanduk kalimantan (Malacocincla perspicillata)./Muhammad Suranto
Berdasarkan data LIPI, Indonesia memiliki sepuluh jenis pelanduk. Di antaranya pelanduk dada putih (Trichastoma rostratum), pelanduk ekor pendek (Malacocincla malaccensis), pelanduk merah (Trichastoma pyrrogenys), pelanduk semak (Malacocincla sepiaria), pelanduk sulawesi (Trichastoma celebence), dan pelanduk topi hitam (Pellorneum capistratum). Penasaran ingin mengetahui nama burung itu, Suranto lantas menghubungi orang yang diketahuinya sebagai pedagang burung, Muhammad Rizky Fauzan, pada 7 Oktober 2020. Ia juga mengirimkan foto-foto burung tersebut melalui pesan WhatsApp.
Fauzan, yang tinggal di Samarinda, Kalimantan Timur, punya sejumlah koleksi burung. Meski lama menggeluti dunia burung, ia tidak bisa menjawab pertanyaan Suranto itu. "Saya mengira itu jenis burung baru," tuturnya saat dihubungi, Selasa, 6 April lalu. Tak bisa memberi jawaban yang memuaskan, Fauzan lantas bertanya kepada teman sekota yang dikenalnya sebagai pemerhati burung, Doddy Ferdiansyah. Doddy adalah perintis BW Galeatus, grup pemerhati burung di Facebook.
Doddy dan kawan-kawannya berbagi informasi dan berdiskusi tentang burung tersebut melalui laman Galeatus. Lulusan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman itu juga banyak membaca literatur. Begitu melihat foto yang dikirim Fauzan, Doddy merasa seperti jatuh cinta. "Wah, jenis apa ini? Saya tidak pernah temui sebelumnya. Ini apa jenis baru?" katanya, Rabu, 7 April lalu, mengingat kesan pertamanya saat itu.
Tak yakin dengan apa yang dilihatnya, pada hari yang sama ia bertanya kepada pengelola BW Galeatus lain. Salah satunya Teguh Willy Nugroho, yang juga pejabat fungsional Pengendali Ekosistem Hutan di Balai Taman Nasional Sebangau, Palangka Raya, Kalimantan Tengah. "Kami waktu itu cenderung menilai burung ini jenis baru karena deskripsinya tidak ada yang sesuai dengan literatur yang kami kumpulkan," ujar Teguh, Rabu, 7 April lalu.
Untuk mendapatkan pandangan alternatif, Teguh menghubungi rekan sekampus di Universitas Negeri Yogyakarta yang ia ketahui aktif di klub pencinta burung, Panji Gusti Akbar. "Ini mirip dengan pelanduk kalimantan yang sering dikutip beberapa jurnal dan buku," ucap Panji, Kamis, 8 April lalu, mengulang jawabannya sewaktu ditanyai Teguh. Panji mengenali kesamaan ciri burung dengan deskripsi Charles Lucien Bonaparte. Penulis buku Atlas Burung Indonesia ini juga bertanya kepada lima pengamat burung lain. Semua mengkonfirmasi pendapatnya.
Pendapat Panji ini meyakinkan Suranto, Fauzan, Doddy, dan Teguh. Mereka pun sepakat mempublikasikan temuan tersebut lewat jurnal. Pada 10 Oktober 2020, mereka mulai mengumpulkan informasi detail. Suranto diminta mengukur burung dengan penggaris. Suranto memberi tahu bahwa dia tak punya penggaris. "Kami semua ketawa. Masak, tidak ada penggaris," tutur Doddy, mengingat obrolan mereka saat itu.
Tak hilang akal, mereka meminta Suranto mencari koin, tapi itu juga tidak bisa didapatkan. Suranto lantas memakai botol minuman soda sebagai perbandingan. Namun, karena perbandingan itu dianggap tak cukup memadai, mereka menggunakan uang kertas Rp 5.000. "Akhirnya diketahui panjang burung berkisar 16-17 sentimeter," kata Doddy. Suranto juga diminta memotret burung dengan berbagai pose. Dalam salah satu foto, terlihat burung itu seperti dijepit dengan keras. Saat ditanyai mengenai hal itu, Suranto mengatakan, "Saya jepit pakai tangan."
Setelah data fisik terkumpul, sempat terjadi diskusi dalam tim mengenai burung itu, apakah tetap dipelihara atau dilepas ke alam. Menurut Teguh, ada yang berpendapat burung tersebut sebaiknya tetap dipelihara karena khawatir itu adalah yang terakhir. Ada pula yang menyarankan burung dilepas. Suranto memilih opsi kedua. "Burung saya lepas karena saya sempat mau merantau dan khawatir tidak ada yang merawatnya," ucap Suranto.
Foto perbandingan Pelanduk Kalimantan pada tahun 1840-an (kiri) dan yang baru ditemukan Muhammad Suranto (kanan)/Tempo
Sebulan kemudian, materi untuk jurnal kelar dan dikirim ke Birding Asia. Setelah melalui sejumlah koreksi, tulisan tentang penemuan itu dimuat dalam edisi 34, Desember 2020. Penulisnya Suranto, Fauzan, Doddy, Teguh, Panji, Joko Said Trisiyanto, dan Ding Li Yong. Joko adalah kolega Doddy di BW Galeatus, sementara Ding Li Yong berasal dari BirdLife International di Singapura. Menurut Panji, banyak komentar yang mereka terima seusai penerbitan itu. “Banyak ucapan selamat dan sepakat bahwa itu pelanduk kalimantan. Ada juga yang mengatakan pernah melihat burung serupa di belakang rumahnya,” tutur Panji.
Doddy menyebut temuan pelanduk kalimantan ini sebagai kabar gembira dan buruk sekaligus. Temuan itu adalah pertanda bahwa populasi burung tersebut cukup banyak. Tapi penemuan ini juga mungkin menjadi sinyal adanya masalah. "Mungkin habitatnya dirusak manusia sehingga akhirnya burung itu ditemukan," dia menambahkan.
Teguh mengungkapkan, dalam sebuah webinar, 2 Maret lalu, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indra Eksploitasia meminta diadakan kajian lebih lanjut mengenai habitat dan populasi burung langka ini. "Buat kajiannya, sebisa mungkin jadi tambahan untuk update agar burung itu dilindungi," ucap Teguh, menirukan pesan Indra.
Kebijakan tentang pelindungan satwa mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Kebijakan Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Peraturan ini memuat ketentuan bahwa satwa bisa masuk daftar dilindungi jika populasinya kecil, jumlahnya berkurang tajam di alam, serta memiliki daerah penyebaran yang terbatas (endemis). "Beberapa informasi dapat kita jadikan dasar rujukan untuk memasukkan burung pelanduk kalimantan sebagai spesies yang dilindungi," kata Indra Eksploitasia dalam siaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengenai temuan burung baru itu, Jumat, 2 April lalu.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106 Tahun 2018 menyebutkan ada 904 jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Dalam daftar itu, pelanduk kalimantan tidak ada. Panji mengungkapkan, ia dan kawan-kawannya berencana membuat penelitian lanjutan. "Penelitian berikutnya ini diharapkan bisa membantu pemerintah mendapatkan data populasinya dan memberi rekomendasi perlunya burung ini dilindungi," ujarnya.
Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!
MOMSMONEY.ID. Intip daftar satuan waktu abad, lustrum, eon hingga konversi ke hitungan tahun. Setiap hitungan waktu tentu beragam untuk mengukur dalam sifat lama atau tidaknya sebuah peristiwa.
Perlu diketahui, Waktu menurut KBBI adalah rangkaian ketika proses, perbuatan, atau keadaan berada atau berlangsung.
Satuan waktu digunakan untuk mengukur durasi atau interval waktu. Di dunia, terdapat beberapa satuan waktu yang umum digunakan.
Manusia dimudahkan dengan adanya sistem yang digunakan untuk mengukur, membagi, dan mengorganisir waktu.
Baca Juga: Ada Satu Tanggal Merah Juli 2023, Ini Hari Besar Nasional dan Internasional Juli 2023
Adanya satuan waktu memungkinkan kita untuk mengidentifikasi durasi, mengatur jadwal, dan memahami urutan peristiwa.
Kegunaan dari satuan waktu adalah sebagai berikut:
Simak beberapa satuan waktu dari yan paling kecil hingga terbesar dilansir dari Smartick.
Baca Juga: Terlalu Banyak Hari Libur, Cuan Trading dan Investasi Saham Bisa Kabur
Satuan Perhitungan Waktu Utama
1 abad berapa tahun? Terdapat 100 tahun dalam satu abad. Pengukuran waktu ini didasarkan pada kalender Gregorian atau Kalender Gaya Baru yang digunakan sebagian besar negara saat ini. Selain abad, terdapat satuan pengukuran waktu lain yang perlu untuk diketahui.
Setiap abad terdiri dari 10 dekade, serangkaian 10 tahun. Seperti abad, dekade dapat mencakup periode 10 tahun. Tetapi jika mengacu pada kalender Gregorian, satu dekade dimulai pada tahun yang berakhir dengan satu dan berakhir dengan tahun yang berakhir dengan 0.
Misalnya, tahun 1990-an secara resmi dimulai pada tahun 1991 dan berakhir pada tahun 2000. Namun, lebih umum bagi orang untuk memulai dan berakhir setahun lebih awal. Dalam hal ini, tahun 1990-an dimulai pada tahun 1990 dan berakhir pada tahun 1999.
Baik abad maupun dekade terdiri dari tahun. Setahun adalah periode 12 bulan yang dimulai pada 1 Januari dan berakhir pada 31 Desember. Setiap tahun juga terdiri dari sekitar 365,25 hari. Namun, kebanyakan orang menganggap satu tahun hanya berlangsung 365 hari.
Jadi, setiap empat tahun, empat kuartal tambahan itu digabungkan menjadi satu tahun yang berlangsung selama 366 hari. Ini disebut tahun kabisat. Setahun juga merupakan periode waktu yang dibutuhkan bumi untuk mengelilingi matahari.
Setiap tahun dibagi menjadi 12 bulan. Yaitu bulan Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, November dan Desember yang terdiri dari 31 hari. April, Juni, September dan November terdiri dari 30 hari.
Februari biasanya terdiri dari 28 hari, tetapi selama tahun kabisat atau selama empat tahun sekali, bulan Februari akan memiliki hari ke-29, sebagai hari ekstra yang diakumulasi dari empat tahun sebelumnya. Waktu bulan didasarkan pada orbit bulan.
Hari adalah periode kira-kira 24 jam yang dimulai pada tengah malam dan berakhir pada pukul 23:59 setiap malam. Setiap hari mencakup periode waktu yang dibutuhkan Bumi untuk berputar pada porosnya.
Ada tujuh hari dalam seminggu yaitu Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu. Sabtu dan Minggu adalah akhir pekan, sedangkan Senin sampai Jumat adalah hari kerja. Ada 52 minggu dalam setahun.
©2024 Katadata. Hak cipta dilindungi Undang-undang.
Satuan waktu kurang dari 1 tahun
Intip beberapa penjelasan tentang beberapa satuan waktu yang umum:
Satuan waktu lebih dari 1 tahun
Berikut adalah beberapa satuan waktu yang lebih dari 1 tahun:
Perlu dicatat bahwa satuan waktu seperti dasawarsa, abad, dan milenium berhubungan dengan pengukuran waktu yang terkait dengan peristiwa sejarah atau kehidupan manusia.
Sementara itu, eon adalah satuan waktu geologis yang lebih luas dan digunakan dalam konteks perkembangan geologi dan evolusi Bumi.
Perlu dicatat bahwa dalam konteks internasional, terdapat beberapa perbedaan dalam cara penanggalan dan penggunaan satuan waktu.
Misalnya, beberapa negara menggunakan format tanggal yang berbeda (misalnya, bulan/hari/tahun atau hari/bulan/tahun).
Selain itu, ada juga zona waktu yang berbeda di seluruh dunia untuk mengakomodasi perbedaan waktu antara wilayah yang berbeda.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News